Warkah ini untuk anakku yang lahir dari rahim isteriku.
Anakku, sebelum selesai membaca warkah ini, izinkan aku minta satu hal sahaja darimu. Sebutlah nama Allah banyak-banyak.
Hari masih pagi ketika aku memikirkanmu. Memikirkan, apakah kelak akan ada seorang manusia yang akan lahir dari rahim isteriku? Usiaku 52 tahun saat menulis warkah ini. Beberapa temanku sudah lama menghantar anak-anak menjejak kaki ke menara gading. Aku masih menunggu, entah bila kiranya Tuhan menganugerahi aku kegembiraan menatap anak menjejak kaki ke puncak menara gading.
Mentari pagi ini bersinar cerah sekali, semoga engkau dapat merasakannya juga nanti. Angin sepoi-sepoi bahasa saja berhembus, serasa tak ada tanda yang ditinggalkannya di kulitku. Dedaunan sesekali bergoyang. Beberapa kendaraan melaju, menyisakan suara deruan enjin. Berisik? Tentu. Aku sedang berada di halaman, merasai panah sinar mentari. Di sampingku, Aisyah Sabariah berusia tiga tahun, puteri bongsuku tengah asyik menghisap botol susunya. Sesekali bibir mungilnya bergerak lucu. Ia juga mengigit-gigit saat merasa tak nyaman dengan puting susu yang udah lama itu. Matanya dipejam, mungkin geram dan beberapa kali ada kerut di keningnya. Mungkin silau, kuterka. Ia sengaja sedang bermandikan dengan cahaya.
Tentu, itu bukan engkau, Nak...
Ingin kuceritakan padamu tentang adik bongsumu ini, salah satu dari banyak hal yang kuingin engkau tahu. Aku memanggilnya Aisyah dan terkadang Sabariah. Sebetulnya, nama Aisyah ini diambil sempena nama nenek dari sebelah ku, manakala nama Sabariah diambil nama nenek dari sebelah umiku. Selalunya ia tidur bersamaku. Buas sekali tidurnya! jika sesekali terbangun, aku memberinya susu botol, ia menyedutnya dengan lahap. Kelak, kalau kaupun sudah punya anak, kau akan bahagia sekali melihatnya keletahnya seperti itu, Nak! Ketika ia menangis tengah malam, ku atau umimu akan menepuk-nepuk buntut dia hingga lelap, Kutepuki badannya dengan lembut dan kuelusi rambutnya hingga aku sendiri terlelap. Berulang kali aku melakukan aktiviti yang serupa ini sejak engkau, anak sulung sehinggalah saat kini.
Kekadang ia membangunkanku sholat Subuh. Ia tak menangis, hanya gelisah sedikit. Selepas sholat, kuhadiahi ia dengan shalawat-shalawat. Ia tak tidur lagi setelahnya. Aku yang mengantuk, terpaksa mengikuti irama ngomelannya saja.
Nak, ada banyak sekali manusia di bumi ini. Dan, ada banyak pula puteri yang seperti Aisyah. Puteri yang ada disampingku ini, tak pernah mengenal kedua orang tuanya. Aku pun sama, tak tahu apakah aku dan umi mu ada lagi bersama kalian semua esok hari, apakah anak yang baru berusia tiga tahun ini sudah boleh merasakan sakit dan kehilangan? Ketika berpikir seperti ini, beberapa air mataku jatuh. Aku menangis untuk kau dan adik-adik kau.
Nak, aku sebetulnya belum tahu apakah mampu untuk merawat dan mengantarkan kamu semua sampai dewasa. Tak perlu kaget, Nak. Di masaku ini, banyak puteri yang seperti Aisyah. Aku menontonnya di beberapa berita di kaca tv dan membacanya di surat-surat kabar, bahawa banyak yang diculik dari orang tuanya.
Anakku, apakah kau memikirkan apa yang kupikikan? Aku memikirkan bagaimana Aisyah melalui hari-harinya setelah ini. Dapat kau bayangkan serupa apa? Akalku tak sanggup menembus tabir takdir itu.
Anakku, ketika engkau membaca warkah ini, kita masih bersama. Namun aku harap, kelak engkau dapat menjadi pengasih bagi semua adik-adikmu . Berikan ia kehangatan orang tua yang tak pernah mereka dapatkan.
Anakku, bersyukurlah banyak-banyak... dan jadilah manusia yang pengasih dan penyayang, seperti Tuhan mengisyaratkan dalam nama-namaNya yang Agung.
No comments:
Post a Comment