Thursday, April 7, 2011
KUCING
XPRESS KE KUCING.
Bus xpress Miri, Kucing yang aku naiki mulai bergerak. Untuk mengusir rasa puas, aku bertanya kepada seorang pak cik tua di sebelah: "Pak cik turun di mana?"
'Di Bintulu, anak turun di mana?"
"Di Kucing"
"Bekerja di mana?"tanya pak cik tua berlanjut. Agak ragu-ragu aku menjawab:"Wartawan di Kucing pak cik."
Pak cik tua seperti menarik nafas panjang, pandangannya lurus ke depan. Dengan nada suara dalam ia berkata:"Anak sebagai wartawan harus berani menulis yang benar-benar aja.Kemukakan fakta apa yang ada.Telah begitu banyak cerita yang dipalsukan, begitu banyak kenyataan disembunyikan. Cerita disusun atur hanya untuk memunculkan kebaikan golongan tertentu dan menutup-nutupi peranan golongan lain yang juga memberi sumbangan dan jasanya terhadap kemajuan dan pembangunan bangsa kitak. Kewajiban anak untuk meluruskannya." Pak cik tua seakan sedang menahan gelombang tsunami di lautan dadanya.
"Mengapa begitu pak cik?" tanya aku sekadar memancing xpresinya. "Ya, pak cik mengalami sendirinya nak. Kamek lebih 50 tahun di sini, telah banyak mengorbankan segala apa yang kamek miliki untuk kemajuan negeri ini. Nenek moyang kamek bersama berjuang memerdekakan diri dari orang putih. Dan kamek juga sama berteriak kepada dunia, sama seperti rakan kamek di negeri lain."
Dan, setelah negeri kamek menyatu di bawah naungan Malaysia, kamek dengan suka rela menyerah teraju pimpinan kepada para pemimpin yang dikatakan berjiwa nasional, patriotik dan mengutamakan bangsa dan negara. Tapi, setelah berada di puncak kekuasaan, atas kerelaan rakyat jelata, kamek hampir hilang harta nenek moyang dan tak punya apa-apa." Mata pak cik tua mula kelihatan berkaca-kaca. Dan, setengah berteriak, hingga menimbulkan perhatian penumpang lain, ia melanjutkan: " Iya, tak apalah kamek tak memperoleh habuan besar ataupun sebarang penghargaan. Tapi, tak usahlah peranan kamek disembunyikan dalam sejarah, sambil menonjol-nonjolkan peranan seseorang atau golongan yang sebenarnya tidak mempunyai aset yang begitu besar terhadap perjuangan, tapi mempunyai aset besar hasil dari kemerdekaan. Apabila mereka berkuasa, mereka bolot segalanya, hingga tanah nenek moyang kamek pun mahu dirogolnya."
"Negeri kamek masih punya kekayaan alam anugerah Allah. Demi pembangunan bangsa, kamek serahkan pemanfaatannya kepada pemimpin negeri, tapi berapa persenkah manfaat dari kekayaan alam itu kamek peroleh? Berdosakah kamek mempercayakan penggunaan kekayaan alam negeri ini kepada pihak lain yang lebih dipercayai daripada terus ditipah tetipu. Apa yang nyata, kini kamek banyak menerima akibat-akibat negatif: krisis nilai, pengangguran, dan kecembruan sosial." Tak terasa bas sudah mendekati stasiun bas Bintulu , dan pak cik tua itu kelihatan mau berdiri.
"Kalau hal ini aku tulis di surat kabar, boleh nama pak cik aku tulis?"
"Kenapa tidak? Tulis..(Pak cik tua menyebut namanya sekali keturunannya). Selanjutnya pak cik tua tersebut memberi salam dan beransur bergerak turun.
Sepemergiannya, aku masih termangu. Pak cik tua adalah wakil dari segala kekecewaan kolektif terhadap gerak sejarah.. Andai segera setelah berbuat jasa, pak cik tua melupakan segera jasa baktinya, dia mungkin tidak akan sekecewa itu.
Tapi ungkapan itu aku tulis dengan rasa malu, sebab aku tidak yakin aku pun akan mampu melupakan perbuatan yang aku anggap berharga dan berkesan dalam hidupku.
...sini, situ dan sana ...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment