Bukan Ulil Amri Jika ...
Peranan pemimpin di dalam Islam sangat penting. Islam sangat menganjurkan adanya kepemimpinan. Islam tidak mungkin boleh diterapkan secara menyeluruh kecuali dengan adanya kepemimpinan. Begitulah Islam yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW, dilanjutkan para khulafa al- rasyidin, dan diteruskan oleh generasi sesudah mereka dalam bentuk khulafah dan daulah Islamiyah.
Tuntutan dari adanya kepemimpinan adalah ketaatan. Di dalam al-Qur'an ada sebuah ayat yang memerintahkan taat kepada pemimpin. Biasanya ayat ini sering diguna oleh para politikus terutama di musim kempen menjelang pilihanraya. Ayat ini juga dijadikan dalil para pendukung pemimpin yang menolak syariat Islam sebagai undang-undangnya.
Namun yang sangat disayangkan ialah umumnya mereka mengutip ayat tersebut secara tidak lengkap.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa ayat 59)
Ayat ini disebutkan oleh ulama sebagai hak para pemimpin yang menjadi kewajiban rakyat. Sedangkan pada ayat sebelumnya QS. An-Nisa': 58, sebagai hak rakyat yang menjadi kewajiban para pemimpin ,iaitu agar para pemimpin menunaikan amanat kepemimpinan dengan sebaik-baiknya. Memberikan hak kepada yang berhak menerimanya, dan memutuskan hukum di antara rakyatnya dengan seadil-adilnya.
Kebanyakan pemimpin yang mementing perut sendiri dan kroni, biasanya hanya membacakan ayat tersebut hingga kata-kata Ulil Amri Minkum. Bahagian sesudahnya tidak dikutip. Padahal bahagian selanjutnya yang sangat penting. Mengapa? Kerana bahagian itulah yang menjelaskan ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum. Bahagian itulah yang menjadikan kita memahami siapa yang sebenarnya Ulil Amri Minkum dan siapa yang bukan.
Selanjutnya Allah berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa ayat 59)
Pemimpin yang memakai konstitusi selain Al-Qur'an dan As-Sunnah, tidak layak disebut sebagai Ulil Amri Minkum yang sebenarnya.
Allah menjelaskan bahwa ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang sebenarnya ialah komitmen untuk selalu mengembalikan segala urusan yang diperselisihkan kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Para pemimpin sejati di antara orang-orang beriman tidak mungkin akan rela menyelesaikan berbagai urusan kepada selain Al-Qur’an dan Sunnah Ar-Rasul. Sebab mereka sangat faham dan meyakini pesanan Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Hujurat ayat)
Dalam catatan sejarah , Khalifah Umar bin Khattab di masa pemerintahannya mengeluarkan sebuah kebijakan ijtihad berupa larangan bagi kaum wanita beriman untuk meminta mahar yang memberatkan kaum pria beriman yang ingin menikah. Tiba-tiba seorang wanita beriman mengangkat suaranya mengkritik kebijakan Khalifah seraya mengutip firman Allah yang mengizinkan kaum mu’minat untuk menentukan mahar sesuka hati mereka. Maka Amirul Mu’minin langsung ber-istighfar dan berkata: ”Wanita itu benar dan Umar salah. Maka dengan ini kebijakan tersebut saya cabut kembali...!”
Subhanallah, demikianlah komitmen para pemimpin terdahulu dalam hal mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam segenap perkara yang menjadi perselisihan.
Adapun dalam kehidupan kita hari ini ,seluruh sistem hidup yang diberlakukan di berbagai negara –baik negara yang majoriti penduduknya Muslim atau tidak ialah mengembalikan segala urusan yang menjadi perselisihan tidak kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Tidak kita temui satupun kebijakan kehidupan moden yang jelas-jelas menyebutkan bahwa ideologi yang diberlakukan ialah ideologi Islam yang intinya ialah mendahulukan pelbagai ketetapan Allah dan Rasul-Nya sebelum yang lainnya. Malah sebaliknya, kita temukan semua negara moden yang yang tegak pada hari ini memiliki konstitusi buatan manusia, selain Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah, yang menjadi rujukan utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Seolah-olah manusia mampu merumuskan konstitusi yang lebih baik dan lebih benar daripada sumber utama konstitusi yang datang dari Allah SWT.
Bila demikian keadaannya, bererti adakah ada pemimpin negeri atau negara manapun yang ada pada hari ini layak disebut sebagai Ulil Amri Minkum yang sebenarnya. ?
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa ayat 60)
Sungguh nanti di neraka penyesalan mereka yang telah mentaati para pembesar dan pemimpin yang tidak menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai tempat kembali dalam menyelesaikan seluruh perkara kehidupan.
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا رَبَّنَا آَتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
”Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (QS Al-Ahzab ayat 66-68).
Kita diwajibkan untuk taat kepada orang dalam perkara yang makruf. Dan tidak ada ketaatan dalam perkara mungkar. Tiada ketaatan kepada makhluk dalam masalah kemaksiatan kepada Allah.
Sebaliknya sebarang kemungkaran kita diwajibkan untuk mengingkarinya dengan tangan (kuasa), jika tidak mampu dengan lisan, dan jika tidak mampu wajib ingkar dengan hati. Itulah selemah-lemahnya iman. Bukan mendukung dan membelanya.
Sesungguhnya di antara pelbagai syirik ada syirik dalam ketaatan, iaitu taat kepada makhluk dalam masalah penetapan syariat (aturan) yang bertentangan dengan syariat Allah, di antaranya halal dan haram. Zina ,judi contohnya diharamkan oleh Allah. Siapa yang membolehkannya dengan apa situasi sekalipun, bererti telah menghalalkan yang diharamkan Allah.
Hak menetapkan syariat hanya milik Allah. Syariat yang Allah tetapkan untuk diberlakukan adalah Islam. Maka menerapkan syariat Islam adalah wajib hukumnya. Sedangkan menolak hukum Islam dan mengambil aturan selain Islam, walaupun sesuatu itu disepakati rakyat, adalah bahagian dari memberikan hak tasyri' kepada selain Allah. Itu kesyirikan dan kekufuran.
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُون"...dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik." (QS. Al-An'am: 121)
Maka barang siapa yang mentaati pemimpin yang menolak syariat Islam, dia telah menjadikan pemimpin tadi sebagai tandingan bagi Allah dalam hal ketaatan. Sesiapa melakukannya telah menjadi musyrik.
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا"
Kerana itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus."
(Q. al-Baqarah: 256)
Thaghut adalah setiap yang disembah dan ditaati selain Allah dan dia redha, di antaranya ibadah dalam bentuk ketaatan. Dia redha, bahkan memaksa ditaati, dalam masalah yang bertentangan dengan syariat Islam. Maka terlepas diri darinya adalah syarat sahnya keimanan. Wallahu A'lam !!!